Sabtu, 09 April 2011

Diary Hati - Bagian Dua

Bagian dua

Menjelang sore, teman saya yang sedang sibuk merajut sembari sesekali mengecek Blackberry nya mengeluhkan sikap sejumlah orang tua murid di sekolah anaknya. FYI* kedua putrinya bersekolah disebuah sekolah swasta yang berpredikat cukup baik di wilayah Depok.
"Mereka ngajak gua demo sekolah karena nerima si X..." Para orang tua murid di sekolah khususnya di kelas putri kecilnya ini mencurigai 'X' yang berprilaku tidak biasa alias aneh
"Sebenernya dia cukup komunikatif kok hanya saja prilaku aneh nya suka tiba-tiba muncul, seperti..." "Gimana nak?" teman saya meminta putri kecilnya menerangkan.
Si cantik yang ditanyai mamanya ini dengan jujurnya bercerita sambil sesekali memeragakan tingkah polah  si X, temannya. "Sebenernya dia nggak aneh kalo menurut aku ma...aku suka kok temenan sama dia! Cuma emang dia suka tiba-tiba kaya'...tepuk tangan sendiri..." ujarnya sambil menirukan gaya tepuk tangan. Menurut ceritanya lagi,  si  X terkadang terlihat sangat aktif.

Tingkah polah X tidak membuat saya terperangah, karena saya lebih takjub terhadap polah tingkah orangtua murid di sekolah anak teman saya. Bagaimana mungkin, ditengah derasnya arus informasi mengenai Special Needs Children atau anak berkebutuhan khusus dan upaya-upaya pemerintah pusat dan daerah untuk membuat peraturan yang mewajibkan tiap-tiap sekolah negeri untuk menerima anak dengan kebutuhan khusus dengan rasio yang telah ditentukan, bahkan upaya-upaya media massa, baik cetak maupun elektronik yang menurut saya cukup gencar untuk menyosialisasikan masalah ini...masih
 ada aja lho yang tidak terinformasi atau apatis dengan masalah yang konon katanya menjadi trend topic saat ini. Bayangkan! Dari hasil penelitian yang pernah saya baca dan dengar melalui media massa bahwa  jumlah anak berkebutuhan khusus meningkat tiap tahun (saat ini dengan rasio 1:150 kelahiran)...Can you imagine if one is yours?!

Saya mengira kasus  demo ini hanya terjadi di masa Oscar Dompas* bertumbuh...hiks...mengenaskan! Dan menurut saya yang lebih mengenaskan lagi adalah bahwa cerita ini terjadi di wilayah Jabar yang hanya berjarak kurang dari satu jam dari propinsi DKI Jakarta...disebuah sekolah swasta, bukan sekolah negeri lho?! Sekolah swasta yang notabene berbiaya mahal dengan orang-orang tua yang saya yakin memiliki kemampuan lebih bila dibandingkan dengan sekolah negeri (tidak bermaksud mengecilkan arti nya, ya?!)

Seandainya mereka mau duduk bersama mendiskusikan masalah ini, bukannya dengan berdemo...tentu terdengar lebih menentramkan...karena berkebutuhan khusus bukanlah sebuah pilihan bagi mereka...saya haqqul yakin tidak ada seorang pun yang ingin mendapat label ini.

Coba lah buka mata hati kita...bayangkan bagaimana sulitnya bila anda ingin bercerita tapi yang terdengar adalah lengkingan tak berarti, ingin memeluk tapi tak mampu mengontrol gerakan tubuh sehingga yang muncul adalah gerakan mencengkeram...ingin bernyanyi tapi yang terdengar lebih seperti lolongan hewan...ingin bilang "Ibu aku mencintaimu" tapi yang keluar adalah teriakan-teriakan tak berarti yang terdengar menakutkan...Pernahkah kita membayangkan bila kita menjadi mereka?
Dan bagaimana respon orang lain yang menerima perlakuan seperti diatas?
Marah? Memandang dengan aneh? Iba? atau Jijik? atau yang lebih ekstrem menarik diri dan menjauh?

Mohon luangkan waktu sejenak untuk berpikir...bahwa kasus ini tengah mewabah didunia...bagaimana bila salah seorang anggota keluarga kita menderita gangguan yang sama? Akankah kita bertindak sama seperti yang dilakukan oleh para orangtua murid di sekolah putri teman saya? Karena menjadi berbeda bukan pilihan mereka (anak-anak ini) dan belum tentu buruk...
Karena untuk menjadi pelangi dibutuhkan banyak warna yang berbeda...


*FYI = untuk diketahui
* Oscar Dompas = salah seorang penderita autisma yang berhasil menjadi sarjana dan menulis sebuah buku.



Melly Goeslaw - Bunda.mp3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar